Jumat, 26 Oktober 2012

Bila Shalat ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at

Apabila hari raya Idul Fithri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, apakah shalat Jum’at menjadi gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied? Untuk masalah ini para ulama memiliki dua pendapat.

Pendapat Pertama: Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.

Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:

Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)

Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.”[2] Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.”[3]
Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.

Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,

قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”[4]

Pendapat Kedua: Bagi orang yang telah menghadiri shalat ‘Ied boleh tidak menghadiri shalat Jum’at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.

Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:

Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,

أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.”[5]

Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih.[6] Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.

Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[7] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.

Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[8]

Kesimpulan:
Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak menghadiri shalat Jum’at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.

Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied tidak menghadiri shalat Jum’at, ini bisa dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas sunnah (ia telah mengikuti ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’ (sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.

Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak shalat jum’at adalah khusus untuk orang yang nomaden seperti orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah terlalu memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keringanan tidak shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.

Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan hari Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua ‘ied yaitu shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[9]

Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing-masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).

Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).[10]

Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Refrensi : [1] Pembahasan kali ini kami olah dari Shahih Fiqih Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/594-596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[2] HR. Abu Daud no. 1052, dari Abul Ja’di Adh Dhomri. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[3] HR. Abu Daud no. 1067, dari Thariq bin Syihab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[4] HR. Bukhari no. 5572.
[5] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310.
[6] Dinukil dari http://dorar.net
[7] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[9] HR. Muslim no. 878.
[10] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta

sumber : www.muslim.or.id

Rabu, 03 Oktober 2012

Nama-nama Surga dan Calon Penghuninya

Dalam islam, jika kita berbuat baik maka akan masuk surga meskipun sebelumnya akan di masukkan di neraka untuk menghilangkan semua dosa-dosa yang telah kita perbuat di dunia. Ada 8 macam surga, yaitu :


1. Surga Firdaus,diciptakan oleh allah SWT,dari emas,penghuninya:
a. orang yg memelihara sholat dan senantiasa khusyuk,
b. orang yg meninggalkan pekerjaan yg sia-sia
c. orang yg membayar zakat
d. orang yg menjaga kemaluannya,kecuali terhadap istrinya,
e. orang yg memlihara amanta dan menepati janji

2. Surga Adn,Diciptakan dari intan putih,penghuninya :
a. orang mengerjakan kebaikan karena Allah ta'ala
b. orang yg benar-benar,beriman dan beramal sholeh
c. orang yg banyak berbuat baik
d. orang yg sabar dan senantiasa menginfakkan hartanya,

3. Surga Na'im,diciptakan dari perak putih, penghuninya :
a. orang yg beriman dan beramal sholeh
b. orang yg bertaqwa

4. Surga Ma'wa,diciptakan dari Zamrut hijau, Penghuninya :
a. orang yg bertaqwa Kepada allah Swt,
b. orang yg benar-benar beriman dan beramal sholeh
c. orang yg takut dengan kebesaran Allah Swt,dan menjaga hawa Nafsu buruk,

5. Surga Darussalam,diciptakan dari yakut Merah,calonnya:
a. orang yg kuat iman dan islam
b. orang yg mengamalkan ayat-ayat al quran,dalam kehidupn sehari-hari

6. Surga Darul Muqomah,diciptakan dari permata Putih,calonnya :
a. orang yg kebaikannya lebih banyak dari pada Kejahatannya

7. Surga Al Maqoomul Amiin,diciptakan dari emas,calonnya
a. orang yg benar-benar bertaqwa kepada Allah Swt,

8. Surga khuldi.diciptakan dari marjan merah dan kuning,calonnya :
a. orang yg menaati perintahNya,dan menjauhi larangannya

sumber : http://fitrimanikbahraini.blogspot.com

Senin, 01 Oktober 2012

Hand Phone TRANSPARAN

HP tercanggih di dunia tahun 2012

HP ini sangat menarik karena casing yang transparan. Itu tidak hanya dirancang untuk modis dan elegan saja tapi juga mempunyai fitur unik.HP tercanggih di dunia 2012 yang juga merupakan handphone unik dengan fitur sedikit aneh ini adalah Windows Phone. Keunikan dari HP ini adalah salah satu fiturnya yang mapu mendeteksi perubahan cuaca di sekitarnya.

Jika cuaca mendung maka theme HP ini akan mengikuti mendung, jika cuaca cerah maka akan mengikuti cerah, apabila hari hujan maka theme juga akan berubah menjadi hujan, dan seterusnya.


sumber : http://dwi-jo.blogspot.com

Dua Waktu Istimewa yang Banyak Dilalaikan di Bulan Puasa


Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para shahabahnya.

Ada dua waktu istimewa di bulan puasa yang kurang diperhatikan. Kebanyakan orang mengisinya dengan sesuatu yang tak berguna, bahkan cenderung sia-sia. Mereka tidak mendekatkan diri kepada Allah di dua waktu tersebut. Padahal dua waktu tersebut merupakan saat mustajab untuk dikabulkannya doa.

Pertama, menjelang berbuka puasa.
Banyak iklan-iklan dan ajakan untuk menghabiskan waktu menunggu berbuka dengan kegiatan kumpul-kumpul yang sering disitilahkan dengan "ngabuburit". Biasanya, isinya obrolan ngalor-ngidul dan jalan-jalan. Tidak sedikit diisi dengan pertunjukan musik dan hiburan lainnya. Padahal waktu tersebut adalah waktu yang sangat berharga. Tidak selayaknya seorang shaim (orang berpuasa) menyia-nyiakannya.

Disebutkan dalam hadits shahih, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
ثلاثة لا ترد دعوتهم الصائم حتى يفطر والإمام العادل ودعوة المظلوم
"Tiga orang yang tidak akan ditolak doanya: orang puasa sampai ia berbuka, imam yang adil, dan doa orang yang dizalimi." (HR. Al-Tirmidzi)
Tiga orang yang disebutkan dalam hadits tersebut diistimewakan dengan pengabulan doa. Yakni doa mereka segera dikabulkan. Hal itu karena ketundukan mereka dalam berdoa kepada-Nya. Terkhusus orang berpuasa saat berbuka, karena ia usai mengerjakan ibadah dan saat itu ia dalam keadaan khudhu' dan tenang.

Karenanya para ulama salaf sangat-sangat mengagungkan waktu penghujung hari (sore hari) karena ia menjadi penutup hari puasa. Sesungguhnya orang cerdas, tentunya akan memanfaatkan waktu yang berharga ini untuk berdoa.

Kedua, waktu sahur. Yakni waktu menjelang fajar. Allah Ta'ala berfirman :
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
"Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." (QS. Al-Dzariyat: 18)
Imam Mujahid dan lainnya mengatakan, "(di akhir-akhir malam) mereka mengerjakan shalat." Ulama lainnya mengatakan, "Mereka shalat malam dan menutupnya dengan istighfar sampai menjelang fajar." Ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala: "Dan yang memohon ampun di waktu sahur." (QS. Ali Imran: 17)

Kemudian Ibnu katsir berkata, "Jika istighfar di dalam shalat maka itu lebih baik." Beliau berhujjah dengan hadits shahih, "Sesungguhnya Allah turun setiap malam ke langit dunia saat seperti tiga malam terakhir, lalu Dia berfirman: Adakah orang yang mau bertaubat sehingga Aku ampuni dia/ Adakah orang yang beristighfar sehingga aku ampuni dia? Adakah orang yang meminta (kepada-Ku) sehingga aku beri permintaannya? Sehingga terbit fajar."

Jadi waktu makan sahur yang menjelang fajar merupakan waktu mustajab untuk dikabulkannya doa. Maka selayaknya orang yang sedang makan sahur untuk memperbanyak doa dan istighfar di waktu yang berharga ini, sampai dikumandangkan azan shubuh. Terlebih kita berada di bulan Ramadhan, hendaknya kita manfaatkan waktu-waktu di dalamnya –khususnya waktu sahur ini- untuk memperkuat hubungan kita dengan Allah 'Azza wa Jalla. Jangan dirusak keistimewaan waktu tersebut dengan menonton acara-acara yang tak berguna dan cenderung melalaikan.

Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita untuk bisa memanfaatkan kesempatan-kesempatan istimewa di bulan suci ini untuk meraih keberkahan dan pahala besar. Sesungguhnya orang yang baik adalah yang senantiasa mendapatkan taufiq dari Allah dalam setiap saatnya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Wallahu Ta'ala A'lam.

Oleh : Ustadz Badrul Tamam

sumber :http://massaleh.blogspot.com